A. Identitas Buku
Pengarang: Abu al-A’la al-Maududi; Judul Buku: Khilafah dan Kerajaan; Judul Asli: “Al-Khilafah wa al-Mulk” [Kuwait: Dar al-Qalam, 1298 H/1978 M, Cet. I]; Penerjemah: Muhammad al-Baqir; Penyunting: -; Penerbit: Karisma Alamat Penerbit: Jl. DIpati Ukur No. 228 Bandung; Tahun Terbit: Agustus 2007, Edisi Revisi [Cet. I-V, diterbitkan oleh Mizan, Bandung, 1984-1994]; [ISBN: -]; Tebal Halaman: 413; Ukuran Buku: 23,5 x 15,5 cm.
B. Ringkasan Isi
Buku ini dimaksudkan oleh penulis untuk memberikan gambaran sebenarnya tentang khilafah dalam Islam. Prinsip-prinsip yang menjadi dasar khilafah islamiyah dalam masa permulaan Islam, aspek-aspek yang telah menyebabkan beralihnya ke sistem kerajaan, sertadampak dan akibat-akibat hal tersebt terhadap umat.
Secara garis besar buku ini terdari atas sembilan bab. Bab pertama, penulis memberi tema ‘Ajaran-ajaran al-Qur’an di Bidang Politik Pemerintahan’. Di bab ini penulis menyuguhkan sejumlah besar ayat al-Qur’an yang menyoroti masalah-masalah politik yang asasi, kemudian menyusunnya dengan cara khusus agar tampak jelas gambaran tentang pemerintahan Islam, seperti yang ingin ditegakkan oleh Kitab Allah tersebut. Susunan tersebut sebagaimana tampak pada setiap subnya, yakni sebanyak enambelas pokok. Pada sub terakhir, penulis kemudian menjelaskan ciri-ciri khas negara Islam berdasarkan konsep yang digambarkan oleh al-Qur’an bagi negara dan tatanannya melalui enambelas pokok tersebut.
Pada bab berikutnya, bab kedua, penulis menjelaskan prinsip-prinsip pemerintahan dalam Islam dengan dilengkapi oleh dalil-dalil baik al-Qur’an, sunnah maupun ucapan-ucapan tokoh-tokoh besar sahabat Nabi saw. Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah sebagai berikut:
- Dasar yang paling utama bagi negara ini ialah bahwa al-hakimiyah, (kekuasaan legislatif dan kedaulatan hukum tertinggi) berada di tangan Allah swt. dan bahwa pemerintahan kaum mu’minin pada dasarnya dan pada hakikatnya adalah khilafah atau perwakilan, dan bukannya pemerintahan yang lepas kendalinya dalam segala yang diperbuat.
- Semua rakyatnya mempunyai persamaan hak di hadapan undang-undang Allah yang harus dilaksanakan atas mereka semuanya kepada yang paling rendah dalam negara sampai kepada pejabat-pejabat dan pemimpin-pemimpin, dengan derajat atau tingkatan yang sama.
- Semua kaum muslimin memiliki persamaan dalam hak-hak dengan sempurna, tanpa memandang warna, suku, bahasa, dan tanah air.
- Pemerintah dan kekuasaannya serta kekayaannya adalah amanat Allah dan kaum muslimin, yang harus diserahkan penanganannya kepada orang-orang yang takut kepada Allah, bersifat adil dan benar-benar beriman. Tidak seorang pun berhak menggunakannya dengan cara-cara yang diragukan atau demi kepentingan pribadi.
- Keharusan bagi para pemimpin negara dan pejabat-pejabatnya untuk bermusyawarah dengan kaum muslimin dan mencari keridhaan mereka, mengikuti pendapat mereka serta melaksanakan sistem pemerintahan dengan cara musyawarah.
- Kewajiban menataati pemerintah dalam hal-hal yang baik saja, dan tidak ada hak bagi seseorang untuk ditaati dalam perbuatan maksiat.
- Berusaha mencari kekuasaan untuk diri sendiri adalah terlarang.
- Kewajiban pertama atas seorang penguasa dan pemerintahnya dalam negara Islam, ialah menegakkan sistem kehidupan Islami dengan sempurna tanpa mengurangi atau mengganti.
- Setiap individu dalkam masyarakat Islam memiliki hak, bahkan wajib mengatakan yang benar, menyerukan yang ma’ruf, membela kebaikan dan mempertahankannya, berupa sungguh-sungguh dalam mencegah kemungkaran, melarangnya dan menghukum kebatilan.
Dalam bab ketiga penulis menjelaskan tentang ciri-ciri khas yang bersangkutan dengan khilafah rasyidah atau sistem kekhalifahan yang adil dan benar, seperti yang telah direkam oleh sejarah. Ciri pertama, bahwa para khulafa rasyidin dan para shabat Rasulullah saw. memandang khilafah ini sebagai suatu jabatan yang dipilih dan harus diputuskan berdasarkan kerelaan kaum muslimin dan hasil musyawarah antar mereka. Ciri kedua pemerintahan harus berdiri berdasarkan musyawarah. Artinya, tidak memutuskan suatu perkara yang berkaitan dengan pengaturan pemerintahan atau perundang-undangan ataupun lain-lainnya kecuali dengan bermusyawarah dengan kaum cendekiawan di antara kaum muslimin. Ciri ketiga, seorang khalifah menganggap baitul maal sebagai khazanah negara adalah amanat Allah dan amanat makhluk-Nya, maka ia berkewajiban memberikan hak kepada setiap orang yang berhak dan berkewajiban melakukan apa saja dengannya dengan cara yang benar. Ciri keempat, pemerintahan tidak hanya berfungsi menjalankan tatanan negara, menjaga keamanan dan membela batas-batas negeri saja, akan tetapi di samping itu, juga memerankan kewajiban-kewajiban seorang mursyid, guru dan pendidik. Pemerintahan hendaknya bertanggung jawab atas pelaksanaan tatanan agama secara benar. Sebagai contoh Umar r.a. seringkali berkata kepada para petugas yang diutusnya: “Aku tidak mengangkat kamu sebagai petugas atas umat Muhammad saw. agar kamu dapat berkuasa atas perasaan dan pribadi mereka, tetapi aku mengangkatmu sebagai pejabat atas mereka untuk mendirikan shalat bersama mereka, mengadili dengan benar di antara mereka dan membagi dengan adil untuk mereka.” Ciri kelima semua elemen dalam pemerintahan memiliki hak yang sama di hadapan undang-undang. Tidak seorang pun yang memiliki suatu kekuasaan lebih tinggi daripada undang-undang. Ciri keenam, perlakuan yang sama rata antara manusia semuanya merupakan ciri-ciri masa Islam yang pertama, sejalan dengan prinsip-prinsip dasar Islam dan jiwanya yang jauh dari segala bentuk ashabiyah (fanatisme) yang bersifat kesukuan, kebangsaan, atau keterkaitan kepada tanah air. Ciri terakhir adalah jiwa demokrasi. Di antara ciri-ciri sistem kekhalifahan ini ialah terwujudnya kemerdekaan yang sempurna untuk mengkritik dan mengeluarkan pendapat.
Dalam bab keempat, penulis membahas secara singkat, sebab-sebab yang melatarbelakangi gerakan peralihan dari sistem khilafah ke sistem kerajaan. Ia membaginya kepada tujuh tahapan yang awal perubahannya dimulai saat Usman bin Affan r.a. menggantikan kedudukan Umar, ia mulai menyimpang dari kebijaksanaan ini, -sedikit demi sedikit ia mengangkat dan memberi keistimewaan kepada sanak kerabatnya untuk menduduki jabatan-jabatan penting dan menyebabkan timbulnya protes dari rakyat secara umum dan menimbulkan terbunuhnya Usman bin Affan secara zalim- sampai pada tahapan akhir yakni berkuasanya Mu’awiyah atas kendali pemerintahan yang oleh penulis disebutkan bahwa ini merupakan tahapan peralihan yang menyimpangkan Islam atau ad-Daulah al-Islamiyah dari sistem khilafah ke sistem kerajaan.
Banyak kalangan yang bijak dan arif menyadari adanya peralihan tersebut, lalu berkata bahwa ‘kita sekarang sedang berada di hadapan pintu kerajaan’. Itulah sebabnya kita melihat Sa’ad bin Abi Waqqash menyalami Mu’awiyah setelah ia dibai’at dengan ucapan: “Assalamu’alaikum, wahai Raja.” Mu’awiyah berkata: “Apa salahnya sekiranya Anda berkata: ‘Wahai Amirul Mukminin?’ “Sa’ad menjawab: “Demi Allah, aku sungguh-sungguh tidak ingin memperoleh jabatan itu dengan cara yang telah menyebabkan Anda memperolehnya.” Bahkan Mu’awiyah sendiri mengerti hakikat ini sehingga pada suatu hari ia berkata: “Aku adalah raja pertama.” Dengan demikian sejak saat itu sistem khilafah rasyidah berubah menjadi kerajaan yang menggigit, yakni kerajaan yang dipaksakan atas rakyat dan dipertahankan dalam suatu keluarga tertentu secara turun menurun.
Bab kelima penulis membahas perbedaan-perbedaan antara sistem khilafah dengan kerajaan dan dampak yang timbul terhadap kehidupan kaum muslimin secara umum, yakni:
- Terkait pokok undang-undang yang mengatur cara pengangkatan seorang pemimpin negara. Pada masa khilafah rasyidah, tidak seorang pun yang menduduki jabatan khalifah kecuali atas dasar musyawarah rakyatnya. Sedangkan pada sistem kerajaan jabatan tersebut diperoleh melalui keinginan sendiri, bahkan dilalui dengan berperang bukan atas dasar persetujuan rakyatnya sebagaimana telah dimulai sejak Mu’awiyah.
- Para “khalifah raja” –demikian al-Maududi membuat istilah- hidup di istina yang dikelilingi para pengawal, rakyat sangat sulit untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengannya. Pada masa khilafah rasyidah rakyat sangat mudah bertemu dan berinteraksi dengan khalifahnya, misalnya di di pasar, masjid, dan tempat-tempat lainnya.
- Para khalifah masa khilafah rasyidah sangat memahami betul bahwa baitul maal merupakan amanat Allah dan makhluk-Nya dan ia sangat memegang teguh terhadap amanat itu. Berbeda dengan masa “khalifah raja”, baitul maal atau kas negara telah menjadi milik penguasa dan keluarganya.
- Telah hilangnya kemerdekaan mengeluarkan pendapat pada masa “khilafah raja” dan sangat berbeda dengan masa khilafah rasyidah, bahwa kebebasan seperti itu selalu terjaga dan terjamin bagi rakyat.
- Telah hilangnya kebebasan peradilan pada masa “khalifah raja” dan berbeda dengan masa khilafah rasyidah di mana para hakim bebas dari segala macam tekanan dan intervensi dari manapun termasuk khalifah. Pada hakim hanya berpegang pada ketakwaannya kepada Allah, ilmu dan nurani mereka.
- Pada masa “khalifah raja” adalah masa berakhirnya pemerintahan berdasarkan musyawarah. Sedangkan pada masa khilafah rasyidah musyawarah dipandang sebagai kaidah yang penting di antara kaidah-kaidah asasi bagi pemerintahan Islam.
- Telah munculnya kefanatikan kesukuan atau ashabiyah qaumiyah pada masa “khalifah raja” dan hal tersebut tidak terjadi pada masa khilafah rasyidah.
- Telah hilangnya kekuasaan hukum. Di antara bencana terbesar yang telah melanda kaum muslimin di zaman sistem kerajaan ialah pelanggaran terhadap kekuasaan hukum, padahal ia termasuk di antara prinsip-prinsip dasar yang terpenting dalam pemerintahan Islam. Fenomena ini digambarkan oleh penulis terjadi pada masa kekuasaan Mu’awiyah, Yazid, dan Bani Marwan. Namun penulis pun dengan sangat arif memberikan penghargaan kepada Umar bin Abdul Aziz dengan menyebutkan bahwa pada masa Umar bin Abdul Aziz merupakan cahaya benderang di tengah-tengah kegelapan pemerintahan Bani Umayyah seluruhnya yang meliputi dunia Islam selama sembilan puluh dua tahun. Namun, cahaya itu tidaklah lama yakni hanya berlangsung selama dua tahun setengah saja, karena Bani Umayyah khawatir akan sirnanya sistem kerajaan yang diwariskan dan akan kembalinya khilafah sebagai obyek pemilihan berdasarkan musyawarah setelah itu. Oleh karena itu, Umar bin Abdul Aziz kemudian diracun dan menyebabkan kematiannya dan keadaan pun kembali seperti sediakala. Keadaan demikian itu pun terjadi pada masa kekuasaan Bani Abbas.
Bab Keenam, penulis menjelaskan bahwa fenomena hilangnya sistem khilafah rasyidah telah menyebabkan dan munculnya perselisihan-perselisihan aliran mazhab antara kaum muslimin, dan problem-problem yang muncul bersama kemunculan perselisihan-perselisihan tersebut. Penulis menggambarkan bahwa setiap masalah baru menyebabkan timbulnya suatu firqah (kelompok) atau firqah yang adakalanya terpecah lagi menjadi kelompok aliran “sempalan” yang kecil. Secara garis besar firqah-firqah itu terbatas pada empat kelompok, yakni Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah.
Pada bab ketujuh, kedelapan, dan sembilan, penulis menggambarkan tentang daya-upaya dan usha sungguh-sungguh yang telah dikerahkan oleh para ulama demi mengutuhkan kembali keretakan yang diakibatkan oleh peralihan tersebut yang berlangsung dalam tatanan negara. Untuk itu, penulis menyajikan karya beasr Imam Abu Hanifah serta Imam Abu Yusuf. Penulis berpendapat bahwa Imam Abu Hanifah adalah orang pertama yang telah mengkodifikasikan akidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dalam menghadapi kelompok-kelompok keagamaan ini dalam bukunya, al-Fiqhul Akbar. Di antara yang dibahas oleh Abu Hanifah adalah tentang para khulafa rasyidin, para sahabat yang mulia, defenisi Iman, perbedaan antara dosa dan kekufuran, dan pikiran-pikiran lainnya. Terkait pikiran-pikiran Abu Hanifah, penulis berpendapat bahwasanya Imam besar terebut dengan ijtihad dan kekuatannya yang khusus, telah mengisi kembali kekosongan besar yang terjadi dalam tatanan hukum Islam akibat tertutupnya pintu permusyawaratan, setelah berlalunya masa khilafah rasyidah. Kekosongan tersebut, sungguh-sungguh telah membuat setiap pemikir muslim amat malu atas berlalunya hampir satu abad penuh tanpa dapat menerobos suasana kebekuan seperti ini. Walaupun kerajaan Bani Abbas berusaha menghindar dari keterpengaruhan pemikiran yang datang dari “madasah” Abu Hanifah, bahkan pada masa Harun al-Rasyid kitab al-Muwattha’ karangan Imam Malik sempat dijadikan sebagai Kitab Undang-Undang Negara, akhirnya Abu Yusuf murid terbesar Abu Hanifah berhasil mempengaruhi Harun al-Rasyid sehingga ia diminta olehnya untuk menyusun sebuah kitab yang memuat hukum-hukum secara teratur dan komprehensif yang akan dijadikan sebagai pegangan negara. Maka, Abu Yusuf pun berhasil mengarang buku yangberjudul al-Kharaj. Judul buku ini menimbulkan dugaan bahwa tema yang dibahasnya islah semata-mata tentang penghasilan negara saja. Tetapi dalam kenyatannya, buku tersebut meliputi pembahasan mengenai hampir seluruh urusan negara.
Al-Maududi berpandangan bahwa walaupun pada karya Abu Yusuf tersebut tidak ada suatu konsep yang berkaitan dengan pemilihan khalifah, pemerintahan berdasarkan musyawarah, tidak dibenarkannya keimaman seorang zalim, dan tentang hak rakyat dalam menegakkan suatu pemerintahan adil, namun hal ini tidak berarti bahwa konsep kenegaraan Abu Yusuf hanya terbatas pada usul-usul yang tercantum dalam kitab al-Kharaj saja dan bahwasanya ia pada hakikatnya tidak mempunyai keinginan lebih dari yang telah disebutkannya dalam kitab ini, tetapi yang benar, hal demikian itu adalah yang dapat diharapkan –secara maksimal– dari daulah Abbasiyah di masa itu, dan dalam kedudukannya sebagai seorang ahli pikir praktis. Ia tidak hanya bertujuan menyajikan suatu khittah teoritis semata-mata yang mungkin sempurna dalam konsep dan prinsipnya, namun sulit untuk dapat dilaksanakan dalam kenyataan. Tapi ia ingin menyiapkan suatu rencana perundang-undangan yang, paling sedikit, mencakup inti tuntutan bagi tegaknya daulah Islamiyah dan, di samping itu, ia dapat diwujudkan dalam situasi dan kondisi masa itu.